Selasa, 28 Juni 2011

Waspadai Adu Domba dalam Divestasi Newmont

Jakarta: Perseteruan panjang antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemrov NTB) mengenai siapa yang paling berhak memiliki sisa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) hendaknya tidak melupakan kemungkinan politik adu domba atau devide et impera yang dilakukan pihak asing, sehingga kepemilikan saham mayoritas sebanyak 51 persen oleh pihak Indonesia tidak terealisasi.

Peringatan tersebut dikemukakan anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan perbankan, Arif Budimanta, di Jakarta, Senin (27/6), mencermati perkembangan ‘rebutan’ sisa saham 7 persen yang belum menemukan titik temu.

Arif menengarai, aksi korporasi yang terjadi pada 25 Juni 2010, yakni PT Pukuafu Indah telah menyelesaikan penjualan 2,2 persen saham NNT ke PT Indonesia Masbaga Investama (IMI) yang dananya juga berasal dari PT NNT, jelas akan membuat Indonesia tidak memiliki mayoritas saham, dan sebaliknya pihak NNT menjadi pemilika saham mayoritas.

Dengan penguasaan 2,2 persen saham tersebut, kata dia, maka pemegang saham asing di NNT akan tetap menjadi pengendali perusahaan tambang emas dan tembaga di Sumbawa Barat, NTB itu. Artinya, filosofi divestasi yang memberikan kendali ke pihak nasional tidak tercapai dan saham 2,2 persen di Masbaga harus didivestasikan kembali.

“Pemerintah pusat dna Pemrov NTB harus bersatu untuk renegoisasi dan mendapatkan kembali mayoritas saham hingga 51 persesn, sesuai Keputusan Arbitrase Internasional 31 Maret 2009. Jangan sampai kita terlena oleh politik adu domba yang dilakukan para pemburu rente dan mafia ekonomi yang tidak ingin melihat sistem ekonomi Indonesia berdikari dan berdaulat,” papar Arif.

Dalam kaitan itu, kata politikus PDIP tersebut, emerintah harus segera membentuk tim renegoisasi agar mayotitas saham Newmont tetap berada pada Indonesia dan kewajiban-kewajiban perusahaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, seperti pajak, royalty, dividen, dan sebagainya dipenuhi PT NNT.

“Presiden Susilo Bambang Yuhoyono juga harus lebih aktif mencari solusi terbaik soal kisruh Newmont ini. Jangan biarkan para pembantunya, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri ESDM berseteru dan akhirnya rakyat yang menjadi korban.

Lebih lanjut Arif menegaskan, audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus dilakukan secara menyeluruh, baik terhadap pembelian sisa saham 7 persen, yang oleh DPR (Komisi XI dan Komisi VII) dinilai sebagai pelanggaran karena menggunakan dana Pusat Investasi Pemerintah (PIP) maupun saham yang sudah dimiliki pemrov sebanyak 24 persen.

Dalam sebuah diskusi mengenai divestasi saham Newmont bertema “Benarkah Menggali Bumi untuk Rakyat di Lombok, NTB, Senin (27/6), Arif yang menjadi salah satu pembicara, mengutarakan soal audit menyeluruh itu oleh BPK. “Dengan audit akan terlihat
jelas bagaimana proses pembelian saham divestasi dan juga sumber keuangannya,” kata dia.

Soal audit tersebut, pembicara lain dalam diskusi itu, mantan Dirjen Minerba Panas Bumi Departemen ESDM & Komisaris Independen PT Indika Energy Tbk, jugamengusulkan agar diadakan audit menyeluruh atas divestasi Newmont sehingga persoalannya jelas.

Dia juga menyatakan, divestasi bukanlah “pemberian” pihak asing tetapi kewajiban dan bukan pula “hadiah” bagi peserta nasional, tapi meruaakan hak peserta Indonesia. Saham itu tidak gratis, tapi dibeli sesuai harga yang rasional. Falsafah divestasi adalah agar peserta Indonesia mengontrol jalannya perusahaan dengan saham mayoritas 51%.

Untuk itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab merealisasikan itu, bukan saja di PT NNT, tetapi pada KK dan PKP2B asing lainnya.

Sedangkan Gubernur NTB Zaenul Madji mengatakan proses divestasi saham Newmont sudah salah arah, karena melenceng dari ketentuan penguasaan nasional. Dia berpendapat bahwa divestasi saham NNT tidak bisa hanya dari aspek akuntansi.

"Tapi keseluruhan potensi tambang di NTB harus diupayakan dengan segala cara supaya besok, pada masa depan, lebih besar manfaatnya bagi masyarakat," kata Zaenul Majdi sambil menyatakan sikap itu selaras dengan isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Juni lalu mengenai renegosiasi kontrak karya pertambangan yang lebih adil.