Jumat, 17 Juni 2011

Kriteria Kemiskinan di Indonesia tidak Rasional

Jakarta: Pemerintah selama ini selalu memamerkan kesuksesan tentang penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Tapi faktanya, angka-angka itu hanyalah kongkalikong untuk memberi kesan positif di mata publik.

Dalam diskusi mengenai Posisi Indonesia di Ekonomi Global yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kamis (16/6) di Hotel Nikko, Jakarta, Direktur Indef (Institute for Development of Economy and Finance) Prof Ahmad Erani Yustika menyatakan, dalam mendesain angka kemiskinan, pemerintah lebih banyak menimbang aspek politis daripada aspek ekonomi yang rasional.

Pasalnya, rencana pemerintah untuk menentukan batas kemiskinan di Indonesia di angka Rp220.000 per bulan dianggap tidak rasional. Data yang ada di lapangan memperlihatkan bahwa saat ini, upah minimum regional (UMR) atau upah minimum kabupaten (UMK) yang paling rendah di Indonesia berada di level Rp660.000 per bulan. Itu pun termasuk hitungan minoritas, karena sebagian besar UMR berada di angka Rp900.000 per bulan.

Dengan asumsi penetapan batas kemiskinan di angka Rp220.000 per bulan, maka angka itu hanyalah sepertiga dari UMR. Padahal, upah minimum saja sudah sangat terbatas. "Kalau begitu, kita tidak perlu heran kalau kemudian pemerintah terus menggaungkan keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan," paparnya.