Ciamis: Meski harga cengkeh membubung tinggi sampai Rp 100.000/kg, hanya sebagian kecil petani yang menikmatinya. Sebagian besar hanya bisa gigit jari.
"Kebanyakan malah terpaksa gigit jari. Maklum sebagain besar pohon cengkeh di Panawangan ini sudah ditebangi. Hanya segelintir warga yang masih membiarkan pohon cengkehnya tumbuh dan tetap berbuah," ujar Ono Rohana (50), warga Desa Kertajaya, Panawangan, Minggu (29/5/2011).
Panawangan di era 1970-1980-an memang terkenal sebagai sentra produksi cengkeh di Ciamis. Hampir setiap halaman rumah warga di 15 desa di Kecamatan Panawangan ditanami cengkeh. Belum lagi di kebun-kebun, di bukit-bukit, hingga di sisi jalan. Banyak warga Panawangan yang naik haji dan sukses secara ekonomi karena tanaman cengkeh mereka berhasil.
Namun kejayaan tersebut mulai meluntur begitu diterapkannya kebijakan tata niaga cengkeh dengan berdirinya BPPC pada 1990-an. Karena harga cengkeh murah, warga membiarkan cengkehnya telantar. Meski cengkehnya berbunga, tidak dipanen lantaran harga murah.
"Puncaknya awal tahun 2000-an sampai sekarang, warga memilih menebangi pohon cengkehnya untuk dijadikan kayu bakar. Tidak sedikit kayu bakar hasil tebangan pohon cengkeh petani di Panawangan yang dikirim ke Jatiwangi dengan truk untuk kayu bakar pabrik genting," kata Ono.
Harga cengkeh di tingkat petani menembus angka tertinggi dalam sejarah, yakni Rp 100.000/kg kering. Bahkan pedagang penampung cengkeh di Pasar Panawangan menerima cengkeh dengan harga Rp 105.000/kg.
"Harga Rp 100.000/kg ini sudah berlangsung selama dua minggu terakhir," ujar Ono Rohana (50), warga Desa Kertajaya Panawangan, Minggu (29/5/2011).
Menurut Ono, gelagat kenaikan harga cengkeh ini terlihat sejak pertengahan April. Harga cengkeh kering jemur, yang pada bulan Februari hanya Rp 55.000/kg, pada pertengahan April naik tajam jadi Rp 70.000/kg. Kemudian awal Mei naik lagi jadi Rp 80.000/kg.