Jumat, 03 Juni 2011

Kepemilikan Asing di Perbankan Nasional Sangat Mengkhawatirkan

Jakarta: Perkembangan pemilikan asing pada perbankan nasional saat ini dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Perlu dilakukan perubahan mendasar dan segera terhadap regulasi yang mengatur pemilikan asing pada sektor strategis, khususnya perbankan.

"Perkembangan peranan asing di sekor perbankan sudah sangat mengkhawatirkan akibat regulasi yang tidak proporsional pasca krisis 1998 dan tidak pernah ditinjau lagi hingga saat ini," kata ekonom INDEF Didik J Rachbini dalam dialog bertajuk 'Ekonomi dan Nasionalisme: Penguasaan Asing Karena Regulasi' di Jakarta, Kamis (2/6).

Didik mengatakan, dalam satu dekade terakhir investasi asing di dalam sektor-sektor strategis seperti perbankan terlihat makin menonjol. Masalah mendasar, manurut dia, terletak pada regulasi pengaturan pemilikan asing. Di Indonesia pemilikan bank asing sudah terjadi dan diizinkan hingga sebanyak 99%, dimana investor asing dapat memiliki bank melalui pembelian di pasar modal atau pembelian terhadap bank dijual dengan cara mengundang investor strategis. Hal ini secara jelas diatur dalam PP 29 Tahun 1999 Pasal 3.

"Masalah ada di pemerintahan atau governance, bukan di konstitusi. PP ini yang bikin strategi mempertahankan dominasi negara di sektor strategis bocor," katanya.

Dia mengungkapkan, saat ini bank nasional yang dimiliki asing sebanyak 21 bank, dengan 10 cabang kantor bank asing mencapai dan bank campuran sebanyak 16 bank. "Aset yang dikuasai asing pada 47 bank tersebut mencapai 50,6%," katanya.

Dirinya membandingkan regulasi pemilikan bank asing di sejumlah negera ASEAN seperti Malaysia yang mengizinkan bank asing yang berpartisipasi dengan bank lokal atau domestik pemilikannya hanya boleh maksimal 30%. Di Thailand, ungkapnya, pemilikan bank asing hingga 100% dibatasi hanya dalam kurun waktu 10 tahun, setelah itu harus divestasi menjadi pemilik minoritas maksimum hanya sampai 49%.

Di Filipina pemilikan bank asing sampai 100% dibatasi hanya sampai dengan tujuh tahun setelahnya pemilikan di kurangi. Sementara di Singapura lebih ketat lagi. Pemilikan bank asing sampai 5%, 10% dan 20% memerlukan izin negara.

Padahal, kata dia, Indonesia dalam 3-4 tahun ke depan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Di saat negara-negara lain tengah memperkuat atau menambah kemilikan masing-masing di sektor-sektor strategis seperti perbankan atau telekomunikasi, dan berekspansi ke regional, Indonesia justru membuka diri seluas-luasnya bagi kepemilikan asing.

"Regulasi perbankan kita paling liberal dan naif dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Kalau begini bisa habis kita ketika MEA diberlakukan." tegas Didik.

Menurut ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswari, perlu dilakukan perubahan segara terhadap regulasi pemilikan bank asing di Indonesia. Pemerintah, ujarnya, perlu membuat peraturan penutup pemilikan bank oleh pihak asing hingga 99% dan membatasinya hanya sampai 49%, seperti pemilikan terhadap industri media. Jika perlu, tambahnya, demi kepentingan nasional dibuka sangat terbatas saja maksimal sebesar 20%-30%. Hal ini penting bagi sektor pertambangan emas, tembaga dan batu bara seperti yang disebut dalam UUD 1945. Termasuk di dalamnya sektor perbankan, industri senjata dan lainnya.

"Bank Indonesia (BI) juga perlu membuat peraturan membatasi kiprah bank asing di kota-kota kecil. Jangan sampai peran BPD (Bank Pembangunan Daerah) atau BPR (Bank Perkreditan Rakyat) mati dimakan bank-bank asing," katanya.

Di saat yang sama, tambah Ninasapti, perlu dilakukan asas resiprositas terhadap negara lain yang melakukan investasi pada lembaga perbankan untuk membuka investasi bagi Indonesia. "Jika tidak bisa diterima maka dilakukan divestasi bertahap terhadap kepemilikan asing di perbankan kita," katanya.

Pengamat ekonomi Bustanul Arifin menambahkan, perlu diadakan revisi terhadap aturan perundang-undangan yang selama ini mengatur perbankan Indonesia, yaitu UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

"Ketiganya merupakan produk asing pasca krisis tahun 1997-1998. Semua dibuat demi kepentingan asing, dalam hal ini IMF (International Monetary Fund)," tegasnya. (Atp/OL-3)