Jumat, 03 Juni 2011

Kementerian Sering Ganti Label Barang Impor dengan Label Lokal

Jakarta: Sejumlah kementerian dan lembaga ternyata banyak menggunakan barang-barang furnitur dan alat kesehatan impor. Tetapi barang-barang yang sebenarnya mampu diproduksi di dalam negeri itu kemudian diganti labelnya dengan label lokal.

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Natsir Mansyur, Kamis (2/6). "Biasanya mereka tender dan yang memenangkan (tender) importir. Ada barang furnitur, alat kesehatan," katanya.

Natsir menyebutkan di Kementerian Kesehatan ditemukan adanya pengadaan alat kesehatan impor seperti alat peraga kesehatan dan kemudian diganti labelnya. Selain itu barang-barang furnitur menjadi barang favorit yang sering diimpor pengadaannya dan kemudian diganti labelnya.

"Kementerian Kesehatan. Seperti alat peraga itu. Kalau furnitur hampir (terjadi di) seluruh kementerian. Coba kalau kamu datang, lihat saja (furnitur) itu sebenarnya barang dari Taiwan, dari Cina, yang sebenarnya diimpor sama importir sini. Saya gak mau sebut, gak enak sama importirnya," tutur Natsir.

Lebih lanjut Natsir menyayangkan sikap kementerian dan lembaga yang masih melakukan pengadaan barang impor. Padahal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 mengharuskan kementerian dan lembaga menggunakan komponen dalam negeri minimal sebesar 40% dalam pengadaan barang dan jasa.

"Apa benar 40%? Kalau otomotif kita sudah tahu lah kementerian menggunakannya (mobil impor). Kita maklumi kalau otomotif, nah kalau furnitur kan sudah bisa dibuat di dalam negri," tegasnya.

Natsir mengatakan saat ini hampir semua barang sudah bisa diproduksi di dalam negeri dengan syarat ada kepastian pasar. Namun dengan sikap kementerian dan lembaga yang masih sering menggunakan barang impor, produsen dalam negri enggan memproduksinya.

"Apa sih sekarang yang gak bisa? Asal mendapat kepastian pasar pasti mau mereka," ucapnya.

Ia mencontohkan anggaran belanja kementerian dan lembaga yang sekitar Rp300 triliun per tahun dalam APBN sebenarnya bisa dianggap pasar yang pasti (captive market) bagi industri dalam negeri.

Belum lagi anggaran belanja badan usaha milik negara (BUMN) yang totalnya mencapai sekitar Rp800 triliun per tahun. Jika 60%-70% dari kementerian, lembaga, dan BUMN mau menggunakan barang lokal, industri dalam negeri akan bertumbuh karena sudah mendapatkan pasar yang pasti.

Maka untuk mengawasi sikap dan perilaku kementerian dan lembaga yang dianggap masih nakal menggunakan barang impor, Natsir meminta Badan Pemeriksa Keuangan ikut mengaudit kinerja penggunaan produk dalam negri pada setiap kementerian dan lembaga.

Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Adiningsih menyayangkan sikap dan perilaku kementerian dan lembaga yang mengganti label dalam pengadaan barang impor. "Kalau benar-benar terjadi, itu sangat disayangkan," ujarnya.

Menurut Sri, masyarakat harusnya diberi contoh yang baik oleh pemerintah dalam menggunakan produk dalam negri. Ia mengatakan perilaku pemerintah mengganti label dalam pengadaan barang impor akan menjadi citra buruk di mata masyarakat dan bahkan bisa saja ditiru oleh kalangan masyarakat dan pengusaha.

"Saat ini barang China saja sudah menguasai pasar secara kasat mata. Apalagi jika pemerintah memberi contoh seperti ini," cetus Sri.

Padahal penggunaan produk dalam negeri oleh pemerintah akan mendorong pembukaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri dalam negeri.

Sri meminta pemerintah memproses hukum tindakan penggantian label tersebut karena sudah termasuk penipuan. Aparat hukum diharapkan bisa membuktikan dan menindak tegas dugaan penipuan tersebut.