Selasa, 10 Mei 2011

Pemain Asing Terus Menggerus Pasar Lokal

Konferensi bisnis ASEAN-Uni Eropa digelar di Jakarta. Ekonom mengingatkan, pemerintah sangat agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring-jaring pengaman pasar.

Selama ini tanpa perjanjian seperti ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) atau ASEAN-Uni Eropa sekalipun, pasar domestic sudah disikat oleh asing. Akibatnya industry dan ekonomi domestik sudah babak belur.

Sistem neoliberal dinilai membuat ekonomi nasional kian terjepit. Para pengusaha nasional kalah bersaing di pasar bebas yang sangat kejam. Benar bahwa ekonomi RI diprediksi masuk 5 besar dunia pada 2030 tapi kesenjangan dan sustainability ekonomi akibat neoliberalisme, tetap jadi ancaman. Pasar tidak meredistribusi pendapatan dan tak peduli terhadap lingkungan. Selain itu masih banyak masalah pungutan liar, impor ilegal, penyelundupan dan kejahatan sejenisnya.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli menunjukkan contoh kebijakan neoliberal pemerintah berupa ekspor rotan ke China demi menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional. Akibatnya, produsen furnitur di Jepara kini kehabisan pasokan bahan baku. Di sisi lain, China justru menjadi eksportir furnitur besar dunia.

Pungutan liar juga terus terjadi. Bagaimana mungkin produk-produk lokal bisa bersaing kalau praktik-praktik ekonomi biaya tinggi masih menghantui dunia usaha nasioinal.

Ekonom UI Faisal Basri melihat rakyat dibiarkan berjibaku, mencari selamat sendiri-sendiri. Pemerintah hanya menandatangani pakta perdagangan bebas, tetapi tak pernah berinisiatif mengagendakan pakta sosial untuk melindungi ekonomi nasional dari gempuran global, terutama impor ilegal.

Karena itu, ekonomi RI diprediksikan bakal masuk lima besar dunia namun dalam realitasnya kian terseok-seok. Sebagai contoh, membanjirnya ikan-ikan impor, terutama dari China. Bukan karena ACFTA, melainkan karena praktik impor ilegal. Ditambah lagi dengan penerapan Standar Nasional Indonesia yang amat lamban sehingga mempercepat keterpurukan industri dalam negeri.

Faisal Basri mencatat, ekspor nonmigas Indonesia ke China meningkat tajam dari 8,9 miliar dollar AS pada 2009 menjadi US$14,1 miliar pada 2010. Hal itu berarti, setahun pelaksanaan ACFTA, RI membukukan pertumbuhan ekspor nonmigas ke China dengan menakjubkan, 58,4 persen. Di 2010, China juga menjadi tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia menggeser posisi Amerika Serikat yang sekarang di urutan ketiga.

Sementara itu, impor nonmigas Indonesia dari China juga meningkat pesat, dari US$13,5 miliar di 2009 menjadi US$19,7 miliar pada 2010 dengan laju pertumbuhan 45,9 persen. China telah cukup lama menjadi asal impor terbesar bagi Indonesia, jauh sebelum penerapan fase kedua ACFTA 2010 ketika diberlakukan penurunan dan penghapusan tarif bea masuk atas barang-barang yang termaktub di dalam senarai Normal Track 1 (NT1).

Sekali lagi, tanpa ACFTA atau ASEAN-Uni Eropa sekalipun, pasar domestik bakal jadi santapan produk impor. Pemerintah nyata-nyata telah abai melindungi usaha domestik dan memperkokoh fondasi perekonomian nasional. RI jangan sampai menjadi tumbal dari ACFTA atau mungkin perjanjian dagang konteks ASEAN-Uni Eropa.